SI JIGO, NASIBMU KINI…

Jigo1

Jigo, itu adalah istilah populer dalam bahasa cakapan ala Jakarta untuk nilai uang sebesar duapuluh lima rupiah alias 25 perak. Sebutan itu berasal dari salah satu dialek bahasa Mandarin. Tapi itu dulu. Sekarang jika kita mendengar istilah jigo, maka biasanya kita langsung mengasosiasikannya dengan nilai duapuluh lima ribu rupiah. Kenapa begitu? Wah, hare gene (pinjam istilah bahasa gaul; maksudnya sekarang) mana ada lagi barang yang berharga jigo yang betul-betul jigo alias 25 perak saja? Sebagai contoh, harga permen. Kalau kita membelinya secara ketengan di warung, dengan uang 1000 rupiah biasanya kita mendapat 8 butir permen. Artinya harga permen sebiji saja sudah lebih dari 100 perak. Sepertinya tak ada lagi barang yang bisa kita beli di warung apalagi di supermaket dengan harga duapuluh lima rupiah.

Uang 25 rupiah memang dalam kurun waktu 20 tahun belakangan telah mengalami degradasi nilai. Tahun 1991 uang 25 perak diterbitkan oleh Peruri (Percetakan Uang Republik Indonesia) dalam bentuk koin imut alias supermini berdiameter sekitar 1,6 cm dari bahan yang sangat ringan dengan gambar Buah Pala pada sisi depan dan gambar lambang negara Garuda Pancasila pada sisi belakangnya. Mengantongi 100 atau 200 koin jigo-an pun masih kagak berasa. Enteng-enteng saja, meski kantong melendung akibat penuh sesak. Sudah kecil bentuknya, kecil pula nilainya. Alhasil bila koin mungil itu jatuh menggelinding, bisa dipastikan akan dibiarkan saja dan takkan dipungut oleh pemiliknya.

Barangkali si pemilik berpikir begini: Alaa, buat apa duit segitu? Dikumpulin, cuma menuh-menuhin dompet. Dikasih ke pengemis, ntar malah gua dimaki-maki plus disumpahin. Dikasih ke pengamen, ntar gua dikeroyok lantaran dianggap menghina profesi pengamen. Lha wong, pengemis dan pengamen jaman sekarang pake tarif. Minimal gopek alias limaratus perak. Kalau ngasih seceng atawa seribu, dapet ucapan terimakasih. Kalau ngasih lebih dari 1000 perak dapet ucapan terimakasih plus senyum. Kalau ngasih goceng atau 5000 perak dapet ucapan terimakasih, senyum lebar serta plus bonus didoain. Kalaupun koin jigo-an dikumpulin sampe sejuta trus ditukerin ke bank, ntar bisa-bisa diamuk sama petugas teller-nya gara-gara dianggap menghambat kinerja bank. Ya kan?

Sementara itu, dahulu uang pecahan 25 rupiah pertama kali diterbitkan dalam bentuk uang kertas. Pada tahun 1960 diterbitkan uang kertas percahan 25 rupiah bergambar Presiden Soekarno dengan warna dominan hijau tua. Setahun berikutnya, tahun 1961, terbit uang kertas 25 rupiah bergambar Panglima Soedirman dengan warna hijau yang lebih terang dari uang kertas 25 rupiah cetakan tahun sebelumnya. Kemudian pada tahun 1971, terbitlah uang koin pecahan 25 rupiah. Koin ini berdiameter sekitar 2 cm dengan gambar burung Dara Mahkota pada sisi depannya dan gambar angka 25 disertai tulisan Bank Indonesia pada sisi belakangnya serta dibuat dari logam yang lebih berat dibanding koin 25 rupiah yang sekarang ini.

Lantas, apa beda kedua koin yang sama-sama mengusung nominal 25 rupiah itu? Jelas berbeda nilainya. Dulu, di awal tahun 70-an, koin pecahan 25 perak itu cukup besar nilainya. Sebagai contoh, ketika itu harga permen yang berlaku bagi anak-anak di warung-warung adalah 5 perak seraup. Artinya, dengan uang 5 rupiah, anak-anak bisa memperoleh permen sebanyak yang bisa diambil oleh tangannya dalam sekali raup. Trik membeli permen ketika itu adalah membuka telapak tangan selebar mungkin saat menjebloskan tangan ke dalam toples permen, lalu rauplah sebanyak mungkin permen. Dengan uang 25 perak, anak-anak bisa jajan sampai kenyang. Bahkan sampai tahun 1976 pun kita masih bisa membeli sepiring siomay berisi 5 potong siomay berukuran cukup besar (setidaknya untuk ukuran anak-anak) dengan sekeping koin jigo-an.

Itu dulu, sekarang ceritanya sudah berbeda. Koin jigo kini tak lebih dari pelengkap penderita. Sebagai pecahan uang RI yang terkecil, dan dengan ukuran terkecil dari seluruh uang kita yang beredar saat ini, bisa dikatakan bahwa si jigo hanyalah sekedar pelengkap uang kembalian saja saat kita berbelanja di toko, supermarket, dan sebagainya. Bahkan yang sering terjadi adalah baik pihak penerima atau pihak pemberi uang kembalian sama-sama tidak peduli jika nilai 25 perak tidak dihitung dengan alasan tidak ada uang recehan. Sekalipun ada ungkapan yang mengatakan bahwa satu rupiah itu berharga karena satu milyar rupiah takkan ada tanpa satu rupiah, pada kenyataannya kebanyakan orang tak lagi memperhitungkan nilai koin 25 rupiah. Di jaman sekarang ini saya belum pernah menemukan orang yang ngotot minta uang kembalian 25 perak. Dan saya kira semua orang akan merelakan jika uang senilai itu tak dihitung dalam uang kembalian.

Bayangkan jika Anda ngotot meminta uang kembalian 25 perak kepada kasir sementara si kasir tak memilikinya. Bisa-bisa orang-orang yang berada di antrian belakang mengomel. Barangkali omelannya begini: Bakhil banget (bakhil=pelit) sih ni orang. Uang segitu aja diminta. Ngotot lagi, huh! Atau omelannya mungkin begini: Gile! Melarat bener nih orang. Kembalian Jigo aja diminta. Udah melarat, pake sok belanja di supermarket lagi. Bikin repot orang! Atau bisa juga begini omelannya: Busyet nih orang, hari gini kembalian jigo diminta. Maniak koin jigo atawa sakit nih? Duh, kasihan si Jigo.

Penulis : Octaviana Dina (17 Jan 2009)

Catatan :
Sekarang, koin senilai 25 rupiah itu tak nampak lagi dalam keseharian kita. Rasanya, riwayat koin mini itu sudah benar-benar tamat.

Tinggalkan komentar